Tahun 1960an, Indonesia
mengalami krisis pangan yang cukup berat. Meskipun Indonesia menyatakan keluar
dari keanggotaan PBB, namun lembaga di bawah badan dunia itu, tetap memberi
bantuan pangan ke negeri ini. UNICEF (United Nations Children's Fund) mengirim
susu bubuk untuk anak-anak, dan FAO (Food and Agriculture Organization) mengirim bulgur. Bahan pangan ini telah
menolong sebagian besar masyarakat Indonesia yang menderita kelaparan. Sampai
dengan awal tahun 1970an, bulgur masih dikonsumsi oleh masyarakat miskin di Indonesia.
Butiran bulgur berukuran sama
dengan beras. Namun bentuknya pendek dan membulat. Salah satu sisi butiran
bulgur agak rata serta beralur memanjang. Kulit biji yang berwarna merah kecokelatan,
masih melekat pada butiran bulgur, hingga ketika disantap terasa kasar di
mulut. Memasak bulgur harus terlebih dahulu direndam air, hingga menjadi lunak
dan mengembang. Kemudian bahan pangan ini bisa dimasak dengan ditanak (dikukus)
atau diliwet seperti halnya beras. Baik sendirian (hanya bulgur), atau sebagai
campuran beras, campuran jagung, maupun singkong.
Selain kasar, butiran bulgur
yang ditanak akan menjadi sangat pera, tidak pulen seperti butiran nasi. Hingga
sebagian masyarakat memasak bulgur dengan mencampurnya dengan beras. Butiran
bulgur sedemikian kerasnya, hingga ketika dimasak hanya dengan sedikit air,
akan menjadi pera sekali. Kulit ari bulgur selain kasar juga sangat keras,
hingga kualitas serat serealia ini sangat baik untuk pencernaan. Namun bulgur
jangan dijadikan "nasi goreng". Terlebih bulgur yang dimasak secara
tunggal, bukan sebagai campuran beras. Sebab perut manusia akan sulit untuk
mencerna bulgur goreng ini.
Kata bulgur berasal dari bahasa
Turki, yang kemudian diadopsi oleh bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesia. Di
Yunani, bulgur disebut pourgouri, di Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi
burghul (bahasa Arab). Kultur makan bulgur memang berasal dari Turki. Sampai
sekarang, bulgur masih menjadi bahan pangan utama di Turki, Timur Tengah,
Afrika Utara dan Timur Laut, Pakistan dan India. Di kawasan ini bulgur
dikonsumsi dengan berbagai cara. Baik untuk sup, kue, dan lain-lain menu lokal.
Namun yang paling sering, bulgur di kawasan ini digunakan sebagai bahan
campuran beras. Hal ini dilakukan bukan karena mereka kekurangan beras,
melainkan untuk memperoleh serat serealia, yang sudah tidak terdapat dalam
beras karena proses penyosohan.
Bulgur adalah serealia dari
berbagai spesies gandum. Namun yang paling banyak dari gandum durum (Triticum
durum) yang berkromosom 4 (tetraploid). Selain durum, gandum tetraploid lainnya
adalah emmer (Triticum dicocon), dan kamut atau QK-77 (Triticum polonicum).
Emer dan durum merupakan keturunan gandum liar Triticum dicoccoides yang
merupakan silangan alami antara gandum liar Triticum urartu, dengan rumput
Aegilops searsii (syn: Aegilops speltoides), yang sama-sama diploid. Hasilnya
adalah emer dan durum yang tetraploid. Dua spesies gandum ini kemudian
disilangkan lagi dengan rumput diploid Aegilops tauschii untuk menciptakan
gandum modern dengan 6 kromosom (hexaploid), yang kemudian dikenal sebagai
gandum biasa (common wheat - Triticum aestivum), dan gandum spelt (Triticum
spelta).
Di Timur Tengah, juga masih
dibudidayakan gandum purba yang berkromosom 2 (diploid), yang disebut eikorn
(Triticum monococcum). Selain genus Triticum, serealia yang dikategorikan
sebagai gandum adalah barley (Hordeum vulgare, Hordeum distichum dan Hordeum
tetrastichum), oat (Avena sativa) dan
rye (Secale cereale). Barley, oat dan rye, meskipun juga bisa ditepungkan untuk
bahan roti, dan juga dibuat bulgur, namun penggunaan paling banyak adalah untuk
malt, yang selanjutnya akan difermentasi menjadi bir. Selama ini durum paling
banyak dibudidayakan di Timur Tengah, Balkan, Afrika Utara, India, dan
negara-negara bekas Uni Soviet.
Di benua Amerika, durum
dibudidayakan di Argentina, Kanada dan Amerika Serikat (AS). Di AS, durum
paling banyak dibudidayakan di Dakota Utara. Varietas durum dengan kulit biji
merah kecokelatan, paling banyak dibudidayakan di AS. Di Negeri ini, gandum
durum berbiji merah ditanam khusus untuk pakan ternak, terutama kuda. Biji
gandum durum merah pakan kuda inilah, yang tahun 1960an dikirim FAO ke
Indonesia untuk menanggulangi kelaparan. Hingga serat dari kulit ari bulgur
dari durum merah ini, agak sulit untuk dicerna perut dan usus manusia. Kecuali
bulgur merah ini dicampur dengan nasi, jagung atau singkong.
Di negara penghasil serealia,
gandum dan juga padi, selalu disimpan dalam bentuk gabah. Bukan dalam bentuk
tepung atau beras. Hingga penggilingan gandum dan juga beras, selalu
disesuaikan dengan tingkat konsumsi bulanan. Sebab gandum dan padi yang masih
terlindungi kulit biji (sekam), akan lebih tahan terhadap gangguan cuaca maupun
serangga (kutu) serealia. Secara tradisional, masyarakat kita juga menyimpan
malai padi (berikut merangnya) atau gabah (tanpa merang), dalam lumbung.
Penumbukan padi dan gabah menjadi beras, sebelum ada huller, disesuaikan dengan
kebutuhan konsumsi harian atau mingguan.
Dalam penumbukan padi, dan
gabah menjadi beras, serta penepungan biji gandum, selalu dilakukan pula
penyosohan, hingga kulit ari serealia itu terpisah dari beras dan tepung.
Gandum spesies durum, dikenal berkulit ari tebal dan keras, sementara bijinya
sendiri agak gembur. Karakter serealia seperti ini juga terdapat pada barley,
oat, rye, dan sorgum. Kalau gandum durum langsung ditepungkan, maka sebagian
besar kulit ari itu akan terikut dalam tepung. Roti yang dihasilkan dari
serealia seperti ini, terasa kasar dan tidak seenak roti dari gandum putih
common wheat. Itulah sebabnya barley, oat, rye lebih banyak dimanfaatkan untuk
bahan bir.
Untuk menyiasati kerasnya kulit
ari dan sekaligus gemburnya biji gandum durum, masyarakat purba di Turki
mencoba merebus gabah serealia tersebut, menjemurnya, baru kemudian
menggilingnya untuk menghilangkan sekam. Akibat perebusan dan penjemuran, biji
gandum durum menjadi sangat keras. Kulit arinya juga melekat sangat erat. Pada
waktu perebusan ini, kulit ari biji akan pecah di satu sisi. Pecahan kulit ari
inilah yang nantinya akan membentuk alur pada salah satu sisi butiran biji,
yang menjadi ciri kas bulgur. Siasat seperti ini juga dilakukan oleh masyarakat
miskin di sentra penghasil padi di Indonesia, pada tahun 1960an dan sebelumnya.
Masyarakat miskin ini mencari
sisa-sisa padi yang tertinggal di sawah, yang umumnya masih muda. Gabah yang
masih muda ini, apabila langsung dijemur dan ditumbuk, akan menjadi dedak
seluruhnya. Agar menjadi beras, mereka merebus gabah hijau itu, menjemur, baru
kemudian menumbuknya hingga butiran berasnya tidak hancur. Rasa beras yang
diproses melalui perebusan ini sangat khas. Pulennya menjadi hilang, hingga
nasinya sangat pera. Meski aroma beras baru masih sangat tajam, namun rasa
beras hasil proses perebusan ini agak mirip dengan nasi aking (nasi loyang),
yakni nasi sisa yang dicuci kemudian dijemur sampai kering.
Meskipun di AS dikenal sebagai
pakan kuda, sebenarnya bulgur kaya nutrisi. Tiap 100 gram bulgur mengandung
energi: 1500 KJ (360 kal), serat 8 gram, protein 12,5 gram, karbohidrat 69
gram, lemak 1,75 gram. Hingga tidak
salah kalau FAO memilih bulgur sebagai bahan pangan untuk membantu negara
miskin yang masyarakatnya menderita kelaparan. Di AS, bulgur yang berkulit ari
kasar dan tebal dijadikan pakan kuda, karena dulu masyarakat lebih menghargai
roti putih dari gandum Triticum aestivum. Namun sekarang keadaan berbalik.
Penyakit kanker usus karena tubuh kekurangan serat, bahaya kegemukan dan
lain-lain telah membuat masyarakat AS dan juga negara maju lainnya kembali mau
mengkonsumsi gandum kasar.
Di pasar-pasar swalayan di
Indonesia, selain roti putih sekarang juga mulai dijual roti dengan penampilan
mangkak (kotor), karena serat kasarnya ikut digiling dan tercampur dalam
tepung. Di Timur Tengah, Balkan, dan India, bulgur juga tetap menjadi bahan
pakan yang terhormat. India, dan juga RRC, memang mengandalkan banyak komoditas
penghasil karbohidrat sebagai bahan pangan. Selain gandum, India dan RRC juga
surplus beras dan jagung. India juga memroduksi bulgur. Sementara RRC menanam
grain amaranth (biji bayam), dan ubi jalar sebagai pakan ternak. Selain
mengandalkan gandum, masyarakat AS juga mengkonsumsi kentang, talas, keladi,
dan ubijalar.
Indonesia, sebagai negara
dengan populasi penduduk ranking IV di dunia setelah RRC, India dan AS, sudah
selayaknya secara serius menangani komoditas penghasil bahan pangan. Kita
sebenarnya punya sagu dan aren sebagai penghasil tepung, tetapi tidak pernah
secara serius diurus pemerintah. Kita juga pernah menjadi eksportir tapioka dan
casava ke MEE, yang sekarang kuotanya direbut Thailand. Masyarakat NTT juga
pemakan jagung putih (jagung tepung), yang kurang diperhatikan oleh pemerintah.
Gandum durum, sebenarnya juga berpotensi untuk dikembangkan di NTT, bersamaan
dengan sorgum. Bahan pangan alternatif ini sangat penting dan mendesak untuk
kita kembangkan. (R)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar