Ngebut Dengan Bisnis Ojek Argo
Pangkalan Taxijek-Photo Harian Detik |
JAKARTA - Rute harian Rudi Haryanto dari rumahnya di kawasan Lebak
Bulus, Jakarta Selatan, ke kantornya di kawasan di Joglo, Jakarta Barat,
seperti neraka. Sepanjang jalan lalu lintas macet. Dengan menumpang bus atau taksi,
butuh waktu dua jam.
Tapi Rudi menemukan pemecahan
jitu atas masalah transportasinya. Ia naik ojek. “Kalau naik ojek dari Lebak
Bulus sampai Joglo sekitar 45 menit,” katanya. Karena tak jago menawar, ia
berlangganan ojek berargo. “Saya tidak pandai tawar-menawar. Kalau pakai argo
kan jelas hitungannya.”
Ojek sepeda motor dengan argo
langganan Rudi itu dikelola perusahaan Taxijek, yang beroperasi sejak November
2011 dan berkantor pusat di kawasan Serpong, Tangerang.
Taxijek didirikan oleh Astri Ayuningtyas.
Ide membuat perusahaan itu datang dari pengalaman pribadinya. “Saya kurang bisa
terima tarif tukang ojek yang suka asal sebut. Saya ingin ada tarif yang fair
buat pengojek dan penumpang,” ucapnya. Karena itu, Astri berpikir bagaimana
jika ojek dilengkapi dengan argometer seperti taksi sehingga ada tarif yang
jelas. “Jadi penumpang membayar sesuai jarak tempuh,” ujarnya. Dari ide itu,
lahirlah Taxijek. Saat ini Taxijek memiliki delapan unit sepeda motor yang siap
melayani pelanggan di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Biasanya pelanggan
Taxijek sudah memesan terlebih dulu. Tidak kurang dari 10 pelanggan per hari
yang memesan jasa sepeda motor Taxijek.
“Pelanggan kami kebanyakan mereka
yang berdomisili di daerah Bintaro, Pondok Indah, Lebak Bulus, dan Cinere,”
kata Bambang, koordinator armada Taxijek. “Mereka sudah menjadi pelanggan
tetap.”
Tarif yang dikenakan, Bambang
melanjutkan, Rp 3.000 di awal. “Setelah melewati jarak 1 kilometer, baru
argometer bermain,” ujarnya. “Tarifnya Rp 3.000 per km.”
Meski baru memiliki delapan unit
sepeda motor, Bambang mengaku masih bisa melayani pelanggan dengan baik.
Caranya adalah mengatur waktu agar kendaraan dimanfaatkan secara optimal.
“Namun manajemen juga sudah berpikir menambah armada karena banyaknya permintaan,”
tuturnya.
Dalam sehari, pemasukan dari seorang
pengojek di Taxijek Rp 150- 200 ribu. Artinya, dalam perhitungan kasar,
pendapatan Taxijek dalam sebulan bisa mencapai Rp 31-41 juta.
Taxijek bukan yang pertama
menawarkan ojek dengan argometer. Sebelumnya sudah ada O’Jack dari Yogyakarta,
yang mulai beroperasi pada Desember 2010. O’Jack didirikan oleh Nanang Kuswoyo.
Sama seperti Astri, Nanang juga
memiliki pengalaman kurang mengenakkan ketika menggunakan jasa ojek. “Saya
pernah harus bayar Rp 30 ribu, padahal jaraknya tidak sampai 1 km,” ujarnya.
Saat ini kendaraan O’Jack sudah mencapai lebih dari 20 unit sepeda motor. Untuk
tarif, awalnya penumpang dikenai Rp 2.000. Setelah 1 km, argometer akan
bertambah Rp 2.000 setiap km. Tarif Yogyakarta agaknya memang lebih miring
dibanding tariff Jakarta.
Nanang mengaku dia sudah memiliki
ribuan pelanggan. “Kalau omzet, rata-rata Rp 50-60 juta per bulan. Tapi, kalau
sedang ramai, bisa sampai Rp 100 juta sebulan,” katanya.
Melihat peluang yang besar,
Nanang mulai berpikir mengembangkan usahanya dengan konsep kemitraan. Saat ini
sudah ada investor yang berminat dari Bandung, Surabaya, dan Denpasar. Namun
Nanang masih mempelajari berbagai proposal yang masuk.
Menurut Nanang, bisnis ojek
berargometer memiliki prospek yang cerah. Di kota-kota besar, kemacetan lalu
lintas sudah menjadi pemandangan umum, padahal masyarakat semakin berpacu
dengan waktu. Kebutuhan transportasi yang aman, nyaman, tepat waktu, dan
terjangkau bisa dipenuhi oleh ojek yang sudah modern.
Namun bisnis itu bukannya tanpa
tantangan. “Kami harus mengubah mindset masyarakat ojek pun bias modern. Ini
yang perlu proses,” ujarnya. HIDAYAT
SETIAJI.
Sumber: Harian Detik Sore - Senin, 8 April 2013, hal. 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar